Kisah Tokoh NU di Jember Selamatkan Gerwani Hingga Mata-mata PKI

JemberDi akhir tahun 1965, perhatian warga Desa Jombang, Kecamatan Jombang, Jember, Jawa Timur, tertuju ke sebuah kolam kering yang ada di belakang rumah Suratman. Sejak beberapa pekan sebelumnya, Suratman selalu menjelaskan kepada para tetangga, bahwa kolam sedalam tiga meter dengan panjang sekitar lima meter itu, akan dia gunakan untuk budidaya ikan lele.

Tetapi rupanya, Suratman punya rencana lain atas kolam tersebut. "Kolam tersebut rencananya akan dijadikan kuburan massal, untuk tokoh-tokoh di Desa Jombang yang akan dihabisi oleh PKI Senjata juga sudah mereka siapkan, dengan disimpan di sumur yang ada di kantor PKI Desa Jombang," ujar KH Abdullah Ubaid Syafawi, tokoh masyarakat Desa Jombang, menceritakan pengalaman yang dia lihat di masa kecilnya.

Suratman bukan orang biasa. Bersama Gundo, keduanya menjadi pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI) jabbering Desa Jombang. Saat itu, Desa Jombang yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Kencong (sebelum dimekarkan jadi 2 kecamatan pada period tahun 1990-an), turut terseret dalam persaingan ideologis yang amat kental di masa Presiden Soekarno.

Usai kegagalan upaya kudeta pada 30 September 1965, tentara bersama warga banyak menyerbu kantong-kantong PKI di seantero negeri, tak terkecuali di Desa Jombang, Jember. Kala itu, kantor PKI di Desa Jombang serta rumah Suratman serta Gundo, menjadi sasaran warga yang didukung militer. Dari tiga lokasi itu, ditemukan sisa dokumen PKI yang belum sempat dibakar. Isinya, berupa nama-nama tokoh agama dan militer yang akan menjadi sasaran pembunuhan.

"Berada di urutan nomor satu adalah KH Syafawi Ahmad Basyir, lalu disusul sejumlah kiai lainnya," ujar Mukhrijin Alwi, sesepuh Desa Jombang lainnya.

KH Syafawi Ahmad Basyir merupakan pengasuh Pondok Pesantren Mabdaul Maarif (Madaf) yang ada di Desa Jombang, Jember. Ia merupakan santri dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang juga kakek Gus Dur. Tak heran, jika kemudian KH Syafawi turut membidani kelahiran Pengurus Cabang NU Kencong. Sebagai catatan, NU Kencong sejak tahun 1937 hingga saat ini memiliki 'kekhususan' berupa condition sebagai pengurus cabang, setara dengan computer NU Jember.

Maka menjadi wajar, jika KH Syafawi lantas masuk dalam peringkat nomor satu, tokoh yang akan disasar PKI. Kecamatan Kencong yang memiliki banyak industri dan perkebunan, dikenal sebagai salah satu basis massa PKI yang cukup besar di Jember.

"Tetapi sebagian hanya ikut-ikutan tanpa mengerti betul apa itu ideologi komunis. Ada yang karena tergiur iming-iming pembagian tanah dari PKI, ada juga yang karena buruh dan dimasukkan begitu saja sebagai daftar anggota PKI saat itu," ujar Rijal Mumazziq Zionis, penulis buku biografi 'Khidmah Keummatan: KH Syafawi Ahmad Basyir'.

Sebelum pecahnya Gerakan 30 September 1965 (G30S), suasana Desa Jombang memang kental dengan persaingan ideologis. Tak jauh dari mosque desa, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, underbouw PKI di bidang sosial budaya) kerap mempertontonkan pertunjukan yang memperolok ajaran agama. Seperti lakon berjudul Gusti Allah Sedo (Tuhan telah mati); Malaikat Kawin; dan sebagainya.

"Biasanya keesokan harinya, ganti dibalas dengan pertunjukan seni keislaman yang dipertunjukkan oleh Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia, underbouw NU di bidang Seni budaya)," ujar KH Abdullah Ubaid Syafawi, yang juga putra KH Syafawi.

Pesantren Madaf yang diasuh KH Syafawi, juga seperti dikepung oleh simpatisan PKI. Di sisi utara misalnya, menjadi markas dari Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia, underbouw PKI di bidang perempuan).

"Saat itu, kepala stasiun kereta api di Kencong adalah simpatisan PKI. Juga Danramil Kencong, juga tentara yang bersimpati ke PKI," kenang KH Abdullah Ubaid Syafawi.

Kiai yang Melindungi 'Simpatisan' PKI.

Situasi menjadi berbalik setelah G30S dinyatakan gagal, dan seluruh basis massa PKI diburu militer bersama rakyat. Perburuan terhadap mereka yang dianggap terafiliasi kepada PKI juga dilakukan di wilayah Kecamatan Kencong, termasuk Desa Jombang. Hal itu menimbulkan ketakutan bagi mereka yang pernah terlibat atau sempat dicap sebagai pendukung PKI.

"Sejumlah perempuan anggota Gerwani yang sebelumnya tidak pernah ke pondok, langsung tergopoh-gopoh lari ke Ponpes Madaf. Mereka meminta perlindungan dan berharap agar bisa diakui sebagai santriwati," ujar KH Abdullah Ubaid Syafawi, putra KH Syafawi, pengasuh Ponpes Madaf.

Meski pernah nyaris dibunuh dan menjadi musuh politik PKI, permintaan para anggota Gerwani itu dituruti oleh KH Syafawi. Tak ada dendam yang menyertainya. Banyak di antara para anggota Gerwani itu yang tidak memiliki kerudung (jilbab). Karena itu, Nyai Zainab Hanafi (istri KH Syafawi), meminta agar para santriwati Ponpes Madaf untuk meminjamkan kerudung mereka kepada para anggota Gerwani.

"Para perempuan anggota Gerwani itu lalu diminta berkumpul di halaman pesantren. Mereka dituntut untuk kembali membaca dua kalimat syahadat. Kalau perlu, jika ditanya tentara, mereka diminta untuk mengaku sebagai anggota Muslimat NU (ormas perempuan milik NU)," papar KH Abdullah Ubaid Syafawi.

Nasib apes juga menimpa sejumlah pria warga Desa Jombang. Mereka terkena label PKI karena diketahui pernah menonton acara kesenian yang digelar oleh Lekra. Para pria ini lantas berbondong-bondong meminta perlindungan ke Pondok Pesantren Mabdaul Maarif (Madaf). "Semuanya diterima dengan tangan terbuka," lanjut KH Ubaid.

Bahkan, di seberang pesantren, terdapat seorang pria yang belakangan diketahui sebagai intel 'swasta' PKI. Saat masa jaya PKI, si pria yang tidak disebutkan namanya itu, ditugaskan oleh partai untuk memata-matai gerak-gerik dari KH Syafawi. Identitas mata-mata PKI level desa ini kemudian terdeteksi oleh tentara yang ditugaskan untuk membasmi PKI pasca G30S.

Sang intel PKI itu kemudian lari menyelamatkan diri ke Ponpes Madaf. Ia meminta perlindungan kepada KH Syafawi, tokoh yang selama ini ia mata-matai.

"Saat itu pria tersebut menangis, membuat pengakuan bersalah kepada KH Syafawi. Beberapa saat kemudian, datang tentara mencari si pria itu untuk ditangkap. Tetapi langkah tentara itu justru dicegah oleh KH Syafawi. Kepada tentara, KH Syafawi berbohong dengan mengatakan pria tersebut adalah warga NU, bukan PKI. Berbohong demi menyelamatkan nyawa orang lain," tutur Rijal Mumazziq Zionis, penulis buku biografi 'Khidmah Keummatan: KH Syafawi Ahmad Basyir', yang saat ini menjadi Rektor INAIFAS Kencong.

Melalui sejumlah upaya, KH Syafawi Ahmad Basyir setidaknya berhasil meredam atau mengurangi gejolak yang ada di sekitarnya, pasca G30S 1965. KH Syafawi Ahmad Basyir meninggal dunia pada 9 September 1984 pada usia 83 tahun. Ia meninggalkan seorang istri dan 7 putra-putri, sejumlah cucu dan pesantren yang hingga kini masih kokoh berdiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berwisata Ala Orang Korea Selatan, Rela Bayar Mahal untuk Duduk Sendiri di Kafe Demi Hilangkan Stress

Seorang Kolektor Barang Antik Membeli Sebuah Mangkuk Seharga Rp 500, Ternyata Artefak Langka Dengan Harga Miliaran Rupiah

Objek Wisata Di Thailand Kota Bangkok Mulai Dibuka Kembali Untuk Turis Asing Mulai 1 November 2021 dan Tanpa Karantina